Opinion
By.
Prof. Darmaningtyas, M. Pd
Jujur saja saya gedheg-gedheg (geleng-geleng kepala) membaca berita hari ini bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna Jumat (9/4/2021) menyetujui pembentukan Kementerian Investasi serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pembentukan dua kementerian itu sesuai dengan hasil keputusan Badan Musyawarah yang membahas surat dari Presiden Joko Widodo mengenai pertimbangan pengubahan kementerian.
Yang bikin saya gedheg-gedheg adalah sebagai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja beban Kemdikbud itu sudah berat, apalagi ditambah dengan Ristek, akan semakin berat, akibatnya malah tidak bisa berjalan semuanya. Kalau tidak bisa jalan semua, maka semua akan rugi, Bila jawabannya kemudian adalah menambah kepemimpinan di Kementerian dengan mengangkat Wamen (Wakil Menteri), maka sebetulnya sama saja dengan saat Ristek terpisah kemarin.
Pengganggabungan Ristek dengan Kemdikbud sebetulnya juga menunjukkan baik eksekutif maupun DPR tidak paham mengenai filosofi keberadaan Kemdikbud dan Kemristek alias mereka mengalami sesat pikir. Menurut saya, secara filosofis Kemdikbud itu tugasnya meletakkan dasar-dasar berfikir logis sistematis yang amat diperlukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan Ristek (Riset dan Teknologi) itu mengembangkan ilmu dan teknologi secara aplikatif. Jadi beda sekali. Kalau Kemdibud dan Ristek digabung menjadi satu, jangan-jangan yang terjadi justru tarik menarik orientasi dari orang-orang yang di dalamnya karena mereka yang satu berorientasi ke pengetahuan dasar, sementara yang lain berorientasi ke aplikasi. Karena terjadi tarik menarik orientasi itu, akhirnya Kementerian tersebut lebih akan sibuk membereskan urusan-urusan internal (penyamaan orientasi) akhirnya malah tidak berjalan ke mana-mana.
Saya kira yang diputuskan oleh BJ Habibie dulu saat membentuk BPPT, yang menjadi embrio Ristek itu sudah tepat. BJ Habibir tidak menempatkan BPPT, bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau LIPI, tapi menjadi badan tersendiri karena tugas dan peranannya memang berbeda sekali dengan tugas Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun LIPI. BPPT itu didirikan untuk pengembangan teknologi yang aplikatif dan kelak melahirkan sejumlah industry strategis. Kalau sekarang Ristek digabungkan dengan Kemdibud, dijamin pasti kacau.
Bila penggabungan Kemristek ke Kemdikbud atas dasar usulan Pemerintah, maka berarti yang memberikan masukan kepada Presiden Jokowi tidak mengetahui persoalan filosofis keberadaan Kemdikbud maupun Kemristek, dan juga tidak mengetahui persoalan manajerial di lapangan. Dari aspek managerial, tidak mudah mengomandani satu kementerian yang begitu besar dan memiliki landasan filosofis yang berbeda pula. Ini betul-betul sangat fatal. Selaki belum menjadi keputusan presiden sebaiknya dibatalkan. Saya berani bertaruh, bahkan dengan penggabungan Ristek ke Kemdikbud, kegiatan riset kita akan semakin mundur karena baik pendidikan maupun riset dan teknologinya berjalan setengah-setengah
Bisikan yang salah itu juga tercermin pada pembubaran Balitbang yang ada di setiap kementerian. Pembisiknya betul-betul tidak bisa membedakan apa bedanya Balitbang di Kementerian dengan LIPI dan Kemristek. LIPI itu mestinya risetnya diarahkan untuk pengembangan ilmu-ilmu dasar yang menjadi basis pengembangan teknologi yang dikembangkan oleh Kemristek. Sedangkan Balitbang di kementerian itu risetnya adalah riset kebijakan untuk menunjang proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh, Kemenhub mau mengetahui ATP/WTP (ability to pay/willingness to pay, kemampuan/kemauan membayar) tiket KA dalam kota, tentu surveinya tidak dilakukan oleh LIPI atau Kemristek, tapi oleh Balitbang Kemenhub. Atau juga Kementerian Pertanian ingin melihat tingkat kebutuhan pupuk bersubsidi, jelas risetnya bukan oleh LIPI atau Kemristek, tapi oleh Balitbang Kementan. Nah kalau Balitbang di kementerian-kementerian dibubarin, lalu siapa yang melakukan kajian untuk dasar pengambilan kebijakan? Akhir kementerian membentuk badan baru misalnya, badan kajian kebijakan. Fungsi dan peran badan baru itu sama persis dengan fungsi dan peran Balitbang. Kalau begitu ngapain dibubarin yang akhirnya memboroskan anggaran untuk merubah logo, nomenklatur, kop surat, cap, dsb. Itu semua terjadi karena pembisiknya Presiden tidak tahu lapangan.
Berdasarkan pengalaman pembubaran Balitbang di Kementerian yang akhirnya melahirkan badan baru untuk mengganti peran Balitbang, maka sebaiknya Presiden Jokowi tidak boleh main-main lagi dengan menggabungkan Kemristek dengan Kemdikbud, sehingga penggabungkan tersebut lebih baik dibatalkan.
Kalau soal riset kita tidak maju-maju, jawabannya jelas: selama anggaran riset rendah dan kegiatan riset terjerat pada rezim akutansi maka selama itu pula riset kita tidak akan pernah maju. Riset untuk inovasi itu butuh waktu panjang dan konsentrasi penuh, tidak ngurusi nota-nota dan kwitansi yang dikeluarkan selama melakukan riset. Kami buat eksperimen mengubah becak tradisional di Yohgya dari berat 120 kg menjadi 85 kg baru berhasil secara tepat setelah mencapai prototype yang ke-14. Kalau riset dan inovasi sekali gagal lalu dipenjara dengan alasan merugikan keuangan negara, ya pasti tidak akan pernah ada riset yang berkembang di negeri ini, karena pikiran para ahli saat riset lebih sibuk mengumpulkan kuitansi dan nota-nota untuk dipertanggung jawabkan daripada berfikir mencari temuan..
Penulis*
Ki Darmaningtyas,
Pengurus PKBTS
(Persatuan Keluarga
Besar Taman Siswa)