ilustrasi.
Wartanrpntb.com, Akibat kebijakan pendidikan dan regulasi terbaru pemerintah, seorang guru yang telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Bima yang mengabdi di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Rasanae Barat mengeluh atas kebijakan Wali Kota Bima di tahun 2021 ini, kebijakan tersebut sangat beda dengan walikota sebelumnya.
Ibu Guru berusia 33 tahun itu mengaku, ada sekitar lebih dari tiga ratus atau lima ratus orang jumlah Guru PNS yang tak mendapat sertifikasi bernasip kurang beruntung dengan adanya kebijakan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) atau yang dikenal dengan Tunjangan Kinerja (Tukin).
Wanita yang biasa dipanggil Ibu Nur itu menjelaskan, kebijakan Wali Kota Bima dalam menempatkan posisi guru non sertifikasi yang ada di wilayahnya masih dilihatnya sebelah mata dan kesannya seperti anak tiri saat ini. Kata dia, di Kota Bima selama dirinya menjadi PNS sejak tahun 2011 lalu, ratusan guru yang ada di Pemkot Bima khususnya yang non sertifikasi selain mendapat pendapatan tambahan dari pusat senilai Rp750 ribu per tiga bulan, ratusan guru ini juga mendapat uang kesra yang per tri wulannya diberikan Pemkot Bima sebesar Rp600 ribu.
“Kami selama ini, untuk ratusan guru non sertifikasi ada tambahan penghasilan dari pusat sebesar Rp750 ribu per tri bulan. Dan uang kesra dari Pemkot Bima sebesar Rp200 ribu yang diberikan setelah dipotong pajak. Dan itu saya terima dari tahun 2011 di awal-awal diangkat menjadi PNS dan mengabdi sebagai Guru SDN di Kota Bima,” jelas Nur, Jum’at, 16 April 2021 pagi.
Kata dia, adanya kebijan tentang Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) atau yang dikenal dengan Tunjangan Kinerja (Tukin) di tahun 2021 ini, keberadaan guru non sertifikasi baik yang mengabdi di SD dan SMP di Kota Bima keadaannya meradang. Karena, akibat adanya Tukin unutk PNS non guru yang diberlakukan sekarang, uang kesra yang didapat untuk guru non sertifikasi dihapus tahun ini.
“Keadaan nasib untuk ratusan guru non sertifikasi yang kehilangan pendapatan uang kesranya di tahun ini karena adanya kebijakan Tukin untuk PNS non guru sama halnya anak tiri yang tidak penting keberadaannya untuk diperhatikan oleh Kepala Daerah. Nasib... nasib...,” ujarnya.
Diakuinya, sebagai PNS yang memiliki hak dan status yang sama. Di tengah para PNS non guru mendapatkan Tukin yang nilainya kabatnya untuk esselon dua saja di atas Rp1 juta. Dirinya yang berstatus guru yang tak menerima sertifikasi, sudah dipotong uang kesranya dan tak mendapat uang tukin sebagaimana PNS yang lainnya.
Menurutnya, di tengah PNS lain yang mendapat uang Tukin saat ini yang nilainya minimal di atas Rp1 juta per bulannya itgu. Uang kesra yang biasa diterima guru non sertifikasi jangan dihapus di tahun ini.
“Keadaannya kan timpang sekali. Yang lain menpapatkan Tukin jutaan per bulannya. Guru non sertifikasi yang hanya Rp200 ribu per bulan malah dihapus. Harusnya, minimal uang itu tetap ada walau kami tak mendapat Tukin seperti ASN lain,” terangnya.
Diakuinya, jika dihitung seorang guru non sertifikasi se tahun dapat uang kesra sebesar Rp2,4 juta dikalikan 500 orang guru jumlahnya hanya sekitar Rp1,2 miliar. Sama dengan nilai proyek lampu hias yang ada di tiga jembatan di Kota Bima yang dipasang tahun lalu.
“Kami harap, walau guru non sertifikasi sudah jelas tak dapat sertifikasi dan juga uang Tukin. Uang kesra yang diterima per tri wulan itu jangan dihapus.Total jumlahnya juga tidak seberapa jika dikalikan dengan ratusan guru yang dirugikan dan diabaikan sedikit kesejahteraannya tahun ini oleh Wali Kota,” papar dia.
Ia mengaku, dirinya merasa kecewa dengan telah mendukung kepemimpinan yang berkuasa sekarang di Pilkada tahun 2018 lalu.
“Pilkada ke depan ini, saya pribadi takkan mendukung dan memilih Pak Lutfi untuk menjadi Wali Kota di periode keduanya nanti,” tegas dia dengan nada yang ketus dan kecewa.
Terpisah, Kepala Dinas Dikbud Kota Bima, Supratman yang coba dikonfirmasi di kantornya pagi tadi belum sempat dikonfirmasi karena rapat internal di ruang kerjanya yang tak bisa diganggu, Ketua DPC FGII Bima, Nukman, M. Si. menilai regulasi ini termasuk kategori dzolim dan mendzolimi jika itu benar benar terjadi.
" Kebijakan dan regulasi pendidikan itu harus berpihak, jangan sekonyong - konyong dan seenak pusat atau regionally, punya alas hukum yang jelas tidak Dikbud Kota dan Pemkot menjalankan hal tersebut, kaji dan analisa dulu sejauhmana hal tersebut membawa manfaat atau mudharat bagi pemerintah daerah dalam jangka panjang maupun pendek serta merugikan guru.
" Guru jangan dirugikan, sebab tanpa jasa mereka negara ini akan gelap gulita, pungkasnya.
(wartanrpntb.com)