:) :( hihi :-) :D = :-d ;( ;-( @-) :P :o :>) (o) :p (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ x-) (k) NASIONALISME INDONESIA HARUS INKLUSIF; Wawancara Imajiner dengan Bung Karno tentang Filosofi Kebangsaan - Jejak Info

Selasa, 24 September 2024

NASIONALISME INDONESIA HARUS INKLUSIF; Wawancara Imajiner dengan Bung Karno tentang Filosofi Kebangsaan

 


NASIONALISME INDONESIA HARUS INKLUSIF;

Wawancara Imajiner dengan Bung Karno tentang Filosofi Kebangsaan


Oleh: Asep Tapip Yani

(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)




Wawancara imajiner ini akan membayangkan percakapan dengan Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia dan salah satu pendiri bangsa, untuk membahas pemikirannya tentang filosofi kebangsaan. Dalam wawancara ini, Bung Karno akan berbicara tentang visi, ide, dan konsep yang membentuk kebangsaan Indonesia.

Kang Asep: “Selamat pagi, Bung. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk berbicara dengan saya hari ini. Saya ingin berbicara tentang konsep kebangsaan Indonesia, yang sangat Anda perjuangkan sepanjang hidup. Menurut Bung, apa yang mendasari filosofi kebangsaan Indonesia?”

Bung Karno: “Selamat pagi! Terima kasih juga atas kesempatannya, Kang. Bicara soal filosofi kebangsaan, dasar utama yang kita miliki adalah Pancasila, yang saya gagas bersama kawan-kawan pejuang kemerdekaan. Pancasila ini bukan hanya dasar negara, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dalam Pancasila terkandung semangat kebersamaan, gotong royong, kemanusiaan, dan keadilan sosial. Semua itu adalah fondasi yang saya anggap penting untuk mempersatukan bangsa yang begitu beragam, baik dari suku, agama, maupun budaya”.

Kang Asep: “Bisa Bung jelaskan lebih lanjut bagaimana keberagaman menjadi bagian dari filosofi kebangsaan?”

Bung Karno: “Tentu! Sejak awal, saya sadar bahwa Indonesia adalah negeri yang majemuk. Kita memiliki ratusan suku, bahasa, dan budaya yang berbeda-beda. Namun, perbedaan ini bukanlah penghalang, melainkan kekuatan. Oleh sebab itu, saya mencetuskan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Filosofi ini menekankan bahwa meskipun kita berbeda dalam banyak hal, kita tetap satu bangsa. Perbedaan itu ibarat warna-warna dalam pelangi, yang meskipun berbeda, tetap indah ketika bersatu. Maka, kebangsaan Indonesia harus dibangun di atas pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman itu”.

Kang Asep: “Dalam konteks globalisasi saat ini, banyak orang khawatir bahwa semangat nasionalisme semakin pudar. Bagaimana Bung melihat hal ini?”

Bung Karno: “Saya memahami kekhawatiran itu. Globalisasi membawa banyak perubahan, termasuk penetrasi budaya asing yang bisa membuat generasi muda lupa dengan identitas bangsanya sendiri. Namun, bagi saya, nasionalisme bukan berarti menutup diri dari dunia luar. Nasionalisme yang sejati adalah kesadaran bahwa kita adalah bagian dari dunia, tetapi dengan tetap bangga pada identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus menerima modernitas dan globalisasi, tapi tidak boleh melupakan akar dan jati diri kita. Justru di era globalisasi ini, nasionalisme harus lebih kuat. Kita harus tahu siapa kita, dari mana kita berasal, dan apa peran kita di dunia ini sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat”.

Kang Asep: “Bagaimana menurut Bung, nilai-nilai nasionalisme bisa ditanamkan pada generasi muda, terutama dalam konteks zaman yang semakin digital ini?”

Bung Karno: “Nilai-nilai nasionalisme harus diajarkan sejak dini melalui pendidikan yang baik. Saya selalu percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membentuk karakter bangsa. Pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga soal menanamkan nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air. Selain itu, di zaman yang semakin digital ini, generasi muda memiliki peluang besar untuk mempromosikan dan mengembangkan nasionalisme mereka melalui teknologi. Kita bisa melihat banyak contoh, seperti anak-anak muda yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan budaya Indonesia, mengenalkan kearifan lokal, dan bahkan membangun gerakan-gerakan sosial yang mendukung kemajuan bangsa”.

Kang Asep: “Menarik, Bung. Dalam Pancasila, Anda juga menekankan pentingnya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bagaimana konsep ini terkait dengan kebangsaan?”

Bung Karno: “Ya, poin kedua dalam Pancasila adalah "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab." Nasionalisme yang sejati tidak boleh hanya berpikir tentang kepentingan bangsa sendiri, tetapi juga harus memperhatikan nasib umat manusia secara keseluruhan. Kebangsaan yang benar harus berdasarkan rasa kemanusiaan universal. Kita tidak boleh menjadi bangsa yang egois, yang hanya memikirkan diri sendiri dan mengabaikan penderitaan orang lain, baik di dalam maupun luar negeri. Dalam sejarah perjuangan kita, saya selalu menekankan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia juga merupakan bagian dari perjuangan umat manusia untuk keadilan dan kemerdekaan di seluruh dunia. Dengan kata lain, kebangsaan kita tidak boleh menindas, melainkan harus menolong”.

Kang Asep: “Jadi, semangat kebangsaan itu bukan hanya tentang mencintai tanah air, tetapi juga tentang bagaimana kita bersikap sebagai bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia?”

Bung Karno: “Betul sekali! Nasionalisme Indonesia harus inklusif. Artinya, kita mencintai dan bangga dengan bangsa kita, tetapi tidak memandang rendah bangsa lain. Justru, semakin kita kuat sebagai bangsa, semakin besar tanggung jawab kita untuk berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan dunia. Itulah yang saya tekankan ketika kita menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955, di mana kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah bangsa yang peduli dengan nasib bangsa-bangsa lain yang masih dijajah atau mengalami ketidakadilan”.

Kang Asep: “Bung, banyak yang mengatakan bahwa gagasan Anda tentang "Sosialisme Indonesia" adalah bagian dari filosofi kebangsaan kita. Bagaimana Anda melihat hubungan antara sosialisme dan nasionalisme?”

Bung Karno: “Sosialisme yang saya maksud adalah sosialisme yang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia, yang berakar pada gotong royong, kepedulian sosial, dan keadilan. Saya selalu menekankan bahwa kita tidak bisa meniru sosialisme ala Barat. Kita punya tradisi sendiri, di mana rakyat saling tolong-menolong, bekerja sama untuk kebaikan bersama, bukan untuk keuntungan segelintir orang. Itulah esensi dari sosialisme Indonesia. Nasionalisme dan sosialisme harus berjalan beriringan karena nasionalisme tanpa keadilan sosial hanyalah nasionalisme kosong. Sebuah bangsa yang kuat harus memastikan bahwa semua rakyatnya sejahtera, bukan hanya sebagian kecil saja. Pancasila juga mencerminkan hal ini dalam prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Kang Asep: “Sebelum kita akhiri wawancara ini, Bung, apa pesan Anda untuk generasi milenial Indonesia saat ini yang hidup di era serba modern dan digital?”

Bung Karno: “Pesan saya sederhana: "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!". Sejarah adalah cermin di mana kita bisa belajar dan menatap masa depan. Saya mengerti bahwa generasi muda sekarang hidup di zaman yang berbeda dengan zaman kami dulu. Tetapi ingatlah bahwa modernitas dan kemajuan teknologi tidak boleh membuat kalian lupa pada akar dan jati diri bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, yang bangga dengan identitasnya, dan yang siap berkontribusi bagi dunia dengan tetap setia pada nilai-nilai luhur bangsanya.” Nasionalisme harus terus ada dalam hati kalian, tidak hanya dalam bentuk upacara atau simbol-simbol, tetapi dalam tindakan nyata untuk membangun bangsa ini, memperkuat persatuan, dan membawa Indonesia menjadi negara yang berdaulat, adil, dan makmur di mata dunia”.

Kang Asep: “Terima kasih banyak atas waktunya, Bung. Wawancara ini sangat inspiratif dan membuka wawasan kami tentang filosofi kebangsaan Indonesia”.

Bung Karno: “Terima kasih kembali, Kang Asep nu kasep. Semoga semangat nasionalisme terus tumbuh di setiap hati rakyat Indonesia, terutama generasi muda yang akan menjadi penerus perjuangan bangsa ini”.

Wawancara ini, meskipun imajiner, mencoba menangkap esensi dari pemikiran dan visi kebangsaan Bung Karno yang masih relevan hingga saat ini. Pesan-pesannya mengenai nasionalisme, kemanusiaan, keadilan sosial, dan pentingnya memahami sejarah tetap menjadi pilar penting dalam membangun Indonesia di masa depan.@@@

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda